Tajuk Rencana: Menakar Kesiapan Indonesia Menghadapi Krisis Iklim di Tahun 2025
Tajuk Rencana: Revisi UU TNI-Polri Picu Kontroversi, Ancaman Bagi Demokrasi? JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah tengah mengkaji draf revisi Undang-Undang (UU) TNI dan Polri yang diajukan oleh DPR. Namun...
Tajuk Rencana: Revisi UU TNI-Polri Picu Kontroversi, Ancaman Bagi Demokrasi?
JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah tengah mengkaji draf revisi Undang-Undang (UU) TNI dan Polri yang diajukan oleh DPR. Namun, inisiatif ini menuai kritik tajam dari masyarakat sipil dan kelompok hak asasi manusia (HAM) yang khawatir akan terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kembalinya militer ke ranah sipil. Revisi UU ini menjadi sorotan karena berpotensi mengubah secara signifikan batasan dan kewenangan kedua lembaga tersebut.
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, membenarkan bahwa Kementerian Sekretariat Negara telah menerima RUU tersebut pada Jumat, 7 Juni lalu. "Saat ini masih dalam penelaahan untuk proses selanjutnya," ujar Dini pada Kamis, 13 Juni 2024. Proses penelaahan ini krusial untuk memastikan bahwa revisi UU sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil.
Salah satu poin krusial dalam revisi UU Polri adalah usulan kenaikan usia pensiun petugas polisi dari 58 tahun menjadi antara 60 dan 65 tahun, tergantung pada jabatan. Selain itu, presiden juga diberikan kewenangan untuk memperpanjang masa jabatan jenderal polisi bintang empat (Kapolri) tanpa batasan waktu yang jelas, meskipun harus melalui konsultasi dengan DPR. Kewenangan polisi juga diperluas hingga ke dunia maya, mencakup pengawasan dan pekerjaan intelijen.
Sementara itu, revisi UU TNI mengusulkan peningkatan usia pensiun personel TNI pada pangkat tertentu, termasuk jenderal, dari 53 tahun menjadi antara 58 dan 60 tahun. Kekhawatiran terbesar dari kelompok sipil adalah potensi penempatan anggota militer aktif di berbagai posisi pemerintahan atas diskresi presiden.
Saat ini, UU TNI membatasi penempatan personel aktif hanya pada 10 kementerian dan lembaga, termasuk Kantor Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Pertahanan; Badan Intelijen Negara (BIN); Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas); dan Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas).
Menanggapi kekhawatiran tersebut, Panglima TNI Agus Subiyanto menyatakan bahwa yang terjadi saat ini adalah multifungsi TNI, bukan lagi Dwifungsi ABRI seperti era Orde Baru. "Sekarang bukan Dwifungsi ABRI lagi, multifungsi ABRI, ada bencana kita di situ, ya kan? Jadi jangan berpikiran seperti itu," tegasnya kepada wartawan di DPR pada Kamis, 6 Juni 2024.
Namun, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai pernyataan Agus justru mengonfirmasi kekhawatiran publik akan kembalinya Dwifungsi ABRI. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menjelaskan bahwa militer dididik, dibiayai, dan dipersiapkan untuk menghadapi peperangan dan pertahanan negara, bukan untuk mengurusi urusan sipil yang berorientasi pada pelayanan publik. "Bukan untuk mengurusi urusan sipil yang orientasinya pelayanan publik," kata Isnur dalam keterangan tertulis pada Jumat, 8 Juni 2024.
Sejarah kelam Dwifungsi ABRI pada masa rezim Soeharto menjadi momok yang terus menghantui. Pada masa itu, ABRI diberikan peran sipil dalam pemerintahan di luar tugas utamanya, dan menjadi alat untuk membungkam perbedaan pendapat politik.
Revisi UU TNI dan Polri ini menjadi ujian bagi komitmen pemerintah terhadap reformasi sektor keamanan dan supremasi sipil. Proses pembahasan dan pengesahan revisi ini harus dilakukan secara transparan dan partisipatif, melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil dan akademisi. Pemerintah dan DPR harus mendengarkan dan mempertimbangkan semua masukan dan kritik yang konstruktif, serta memastikan bahwa revisi UU tidak membuka celah bagi penyalahgunaan wewenang dan kembalinya militer ke ranah sipil.
Masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mengawal proses revisi UU ini dan memastikan bahwa reformasi sektor keamanan tetap berjalan sesuai dengan amanat reformasi. Demokrasi yang sehat membutuhkan TNI dan Polri yang profesional, akuntabel, dan tunduk pada supremasi sipil. Revisi UU TNI dan Polri harus menjadi momentum untuk memperkuat, bukan melemahkan, prinsip-prinsip tersebut.
Sumber: nasional.tempo.co