RUU Keamanan Siber Disahkan, Kontroversi Pasal Pembatasan Akses Informasi
RUU Keamanan Siber Disahkan, Kontroversi Pasal Pembatasan Akses Informasi Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan Siber menjadi undang-u...
RUU Keamanan Siber Disahkan, Kontroversi Pasal Pembatasan Akses Informasi
Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan Siber menjadi undang-undang pada hari ini, Senin, 16 Juni 2025. Pengesahan ini, meski bertujuan untuk memperkuat keamanan digital nasional, langsung menuai kontroversi dan kritik dari berbagai kalangan, terutama terkait pasal-pasal yang dinilai berpotensi membatasi akses informasi dan kebebasan berpendapat di dunia maya.
RUU Keamanan Siber ini digadang-gadang sebagai respons terhadap meningkatnya ancaman kejahatan siber yang semakin kompleks dan canggih. Pemerintah berdalih bahwa regulasi ini diperlukan untuk melindungi infrastruktur vital negara, data pribadi warga, serta menjaga stabilitas nasional dari serangan siber yang dapat mengganggu berbagai sektor.
Namun, kekhawatiran muncul terutama pada pasal-pasal yang memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah untuk melakukan pemblokiran atau pembatasan akses terhadap informasi yang dianggap mengancam keamanan nasional. Kritik menyebutkan bahwa definisi "ancaman keamanan nasional" dalam RUU ini terlalu luas dan rentan disalahgunakan untuk membungkam kritik atau opini yang berbeda.
"Kami sangat prihatin dengan pengesahan RUU ini. Pasal-pasal yang membatasi akses informasi dapat menjadi alat bagi pemerintah untuk menekan kebebasan berpendapat dan berekspresi di dunia maya," ujar Damar Juniarto, seorang pengamat kebijakan digital dari SAFEnet, saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, juga menyampaikan pendapat serupa. Menurutnya, RUU Keamanan Siber ini berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara terkait kebebasan informasi. "Undang-undang ini harus diuji secara materiil di Mahkamah Konstitusi untuk memastikan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia," tegasnya.
Di sisi lain, pemerintah berupaya meyakinkan publik bahwa RUU ini tidak akan digunakan untuk memberangus kebebasan berpendapat. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Budi Arie Setiadi, dalam keterangan persnya menyatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk menjalankan undang-undang ini secara transparan dan akuntabel.
"Kami memahami kekhawatiran yang muncul di masyarakat. Namun, perlu ditegaskan bahwa RUU ini bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional dari ancaman siber, bukan untuk membatasi kebebasan berpendapat. Pemerintah akan memastikan bahwa implementasinya tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi," jelas Budi Arie.
Menkominfo menambahkan bahwa akan dibentuk sebuah dewan pengawas independen yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan RUU Keamanan Siber dan memastikan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Dewan pengawas ini akan melibatkan unsur-unsur dari pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dan pakar keamanan siber.
Pengesahan RUU Keamanan Siber ini terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran global terkait ancaman siber, termasuk serangan terhadap infrastruktur penting dan penyebaran disinformasi. Beberapa negara telah mengambil langkah-langkah serupa untuk memperkuat keamanan siber mereka, namun tetap dengan memperhatikan keseimbangan antara keamanan dan kebebasan.
Ke depan, implementasi RUU Keamanan Siber akan menjadi sorotan utama. Masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah berencana untuk terus mengawasi dan mengkritisi pelaksanaan undang-undang ini, serta mendorong pemerintah untuk melakukan dialog yang konstruktif dengan semua pemangku kepentingan.
"Kami akan terus mengawal implementasi RUU ini dan memastikan bahwa kebebasan berpendapat dan hak-hak digital warga negara tetap terlindungi," pungkas Damar Juniarto.
Dengan disahkannya RUU Keamanan Siber ini, Indonesia memasuki babak baru dalam tata kelola dunia maya. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan untuk melindungi keamanan nasional dengan jaminan kebebasan berpendapat dan akses informasi yang merupakan pilar penting dalam negara demokrasi.
Sumber: news.republika.co.id