Pengamat Politik UI: Urgensi Revisi UU Pemilu Jelang Pilkada Serentak 2026
Pengamat Politik UI: Urgensi Revisi UU Pemilu Jelang Pilkada Serentak 2026 JAKARTA, [Tanggal Hari Ini] – Menjelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2026, urgensi revisi Undang-Un...
Pengamat Politik UI: Urgensi Revisi UU Pemilu Jelang Pilkada Serentak 2026
JAKARTA, [Tanggal Hari Ini] – Menjelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2026, urgensi revisi Undang-Undang (UU) Pemilu kembali mencuat. Seorang pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) menekankan pentingnya peninjauan ulang terhadap UU Pemilu untuk memastikan Pilkada Serentak 2026 berjalan lancar dan demokratis.
"Revisi UU Pemilu menjadi krusial dalam mempersiapkan Pilkada Serentak 2026. Ada beberapa aspek yang perlu ditinjau ulang agar proses demokrasi berjalan lebih baik," ujar [Nama Pengamat Politik], [Jabatan Pengamat Politik] di UI, saat dihubungi pada [Tanggal].
Menurutnya, terdapat sejumlah isu krusial yang perlu menjadi fokus dalam revisi UU Pemilu. Salah satunya adalah masalah pendanaan kampanye. Regulasi terkait pendanaan kampanye perlu diperketat untuk mencegah praktik politik uang dan memastikan kesetaraan bagi semua peserta Pilkada.
"Pendanaan kampanye yang tidak transparan dan tidak adil dapat merusak integritas Pilkada. Oleh karena itu, revisi UU Pemilu harus mengatur secara detail mengenai sumber pendanaan, batasan sumbangan, dan mekanisme pengawasan yang efektif," jelasnya.
Selain pendanaan kampanye, ambang batas parlemen (parliamentary threshold) juga menjadi perhatian. Ambang batas parlemen yang terlalu tinggi dinilai dapat menghambat representasi partai-partai kecil di parlemen dan mengurangi keberagaman politik.
"Ambang batas parlemen perlu dievaluasi agar lebih proporsional dan tidak menghalangi partai-partai kecil untuk berpartisipasi dalam proses politik. Hal ini penting untuk menjaga keberagaman pendapat dan aspirasi masyarakat di parlemen," tambahnya.
Pengamat politik tersebut juga menyoroti pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran Pemilu. Sanksi yang diberikan kepada pelaku pelanggaran harus memberikan efek jera dan tidak pandang bulu.
"Penegakan hukum yang lemah dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap proses Pemilu. Oleh karena itu, revisi UU Pemilu harus memperkuat mekanisme penegakan hukum dan memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku pelanggaran," tegasnya.
Selain itu, isu terkait daftar pemilih tetap (DPT) juga perlu mendapat perhatian serius. DPT yang tidak akurat dan tidak mutakhir dapat menimbulkan masalah dalam pelaksanaan Pilkada, seperti potensi suara ganda dan hilangnya hak pilih.
"DPT harus dipastikan akurat dan mutakhir agar semua warga negara yang memenuhi syarat dapat menggunakan hak pilihnya. Revisi UU Pemilu harus mengatur mekanisme pemutakhiran DPT yang lebih efektif dan transparan," katanya.
Lebih lanjut, pengamat politik tersebut juga menyoroti pentingnya peran serta masyarakat dalam mengawasi jalannya Pilkada. Masyarakat harus diberikan akses informasi yang luas dan kesempatan untuk menyampaikan laporan jika menemukan indikasi pelanggaran.
"Partisipasi aktif masyarakat sangat penting dalam menjaga integritas Pilkada. Revisi UU Pemilu harus memberikan perlindungan bagi masyarakat yang berani melaporkan pelanggaran dan memastikan laporan mereka ditindaklanjuti secara serius," ujarnya.
Dengan revisi UU Pemilu yang komprehensif dan melibatkan semua pihak terkait, diharapkan Pilkada Serentak 2026 dapat berjalan lebih baik, demokratis, dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas serta mampu membawa kemajuan bagi daerahnya. Revisi ini menjadi fondasi penting dalam menjaga kualitas demokrasi di Indonesia dan memastikan aspirasi masyarakat terwakili dengan baik dalam setiap proses Pemilu.
"Revisi UU Pemilu bukan hanya sekadar formalitas, tetapi merupakan investasi jangka panjang dalam membangun demokrasi yang lebih matang dan berkualitas di Indonesia," pungkasnya.
Sumber: nasional.tempo.co