Opini: Urgensi Revisi UU ITE untuk Melindungi Kebebasan Berekspresi di Era Digital - Oleh Aktivis HAM, Ratna Sari
Opini: Urgensi Revisi UU ITE untuk Melindungi Kebebasan Berekspresi di Era Digital - Oleh Aktivis HAM, Ratna Sari Jakarta, Indonesia – Di tengah perkembangan pesat teknologi dan meningkatnya penggunaa...
Opini: Urgensi Revisi UU ITE untuk Melindungi Kebebasan Berekspresi di Era Digital - Oleh Aktivis HAM, Ratna Sari
Jakarta, Indonesia – Di tengah perkembangan pesat teknologi dan meningkatnya penggunaan media sosial, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kembali menjadi sorotan. Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Ratna Sari, menekankan urgensi revisi UU ITE guna melindungi kebebasan berekspresi masyarakat di era digital. Hal ini disampaikan mengingat banyaknya kasus dugaan kriminalisasi yang menggunakan pasal-pasal dalam UU ITE, yang dinilai dapat mengancam demokrasi.
Ratna Sari menjelaskan bahwa beberapa pasal dalam UU ITE seringkali disalahgunakan untuk membungkam kritik dan perbedaan pendapat. Pasal-pasal seperti pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong (hoaks) dianggap terlalu karet dan multitafsir, sehingga rentan digunakan untuk menjerat individu yang menyampaikan pandangan yang berbeda atau mengkritik kebijakan pemerintah.
"UU ITE seharusnya menjadi instrumen untuk melindungi masyarakat dari penyebaran informasi yang merugikan, bukan menjadi alat untuk membungkam kebebasan berekspresi," ujar Ratna Sari.
Menurut Ratna Sari, revisi UU ITE menjadi krusial untuk memastikan bahwa kebebasan berekspresi dijamin dan dilindungi, sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM. Revisi tersebut harus dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil, akademisi, dan ahli hukum, agar menghasilkan undang-undang yang adil, proporsional, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Salah satu poin penting dalam revisi UU ITE adalah memperjelas definisi dan batasan dari pasal-pasal yang dianggap karet, seperti pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong. Hal ini bertujuan untuk menghindari interpretasi yang terlalu luas dan subjektif, yang dapat disalahgunakan untuk mengkriminalisasi opini atau kritik yang sah.
Selain itu, revisi UU ITE juga harus mempertimbangkan prinsip proporsionalitas dalam penegakan hukum. Artinya, sanksi yang diberikan harus sepadan dengan pelanggaran yang dilakukan, dan tidak boleh berlebihan atau tidak relevan. Penggunaan pidana penjara sebagai sanksi harus dihindari, kecuali dalam kasus-kasus yang sangat serius dan berdampak signifikan terhadap keamanan dan ketertiban umum.
Ratna Sari menambahkan bahwa revisi UU ITE juga harus memperhatikan perlindungan terhadap kelompok rentan, seperti perempuan dan anak-anak, yang seringkali menjadi korban kekerasan online dan ujaran kebencian. Undang-undang harus memberikan mekanisme perlindungan yang efektif dan memastikan bahwa pelaku kekerasan online ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.
Lebih lanjut, Ratna Sari mengajak seluruh elemen masyarakat untuk ikut serta dalam mengawal proses revisi UU ITE. Partisipasi aktif dari masyarakat sipil, media, dan akademisi akan memastikan bahwa revisi dilakukan secara transparan, akuntabel, dan sesuai dengan aspirasi publik.
"Revisi UU ITE adalah momentum penting untuk memperkuat demokrasi dan melindungi kebebasan berekspresi di era digital. Mari kita manfaatkan kesempatan ini untuk menghasilkan undang-undang yang adil, proporsional, dan melindungi hak-hak seluruh warga negara," pungkas Ratna Sari.
Dengan revisi UU ITE yang komprehensif dan partisipatif, diharapkan kebebasan berekspresi di Indonesia dapat terjamin, tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan negara. UU ITE yang direvisi harus menjadi instrumen yang efektif untuk melindungi masyarakat dari penyebaran informasi yang merugikan, sambil tetap menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan HAM.
Sumber: nasional.kontan.co.id