Kontroversi Album Baru 'Dunia Maya' Milik Grup Band Indie 'Aurora': Eksperimen Musik yang Memecah Opini
Buruh Ancam Gelar Aksi Besar 6 Juni, Tuntut Jokowi Batalkan Tapera Jakarta – Ribuan buruh dari Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berencana menggelar aksi besar di depan Ist...
Buruh Ancam Gelar Aksi Besar 6 Juni, Tuntut Jokowi Batalkan Tapera
Jakarta – Ribuan buruh dari Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berencana menggelar aksi besar di depan Istana Negara, Jakarta, pada Kamis, 6 Juni 2024. Aksi ini dilakukan untuk mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dan mencabut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera.
Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, mengungkapkan enam alasan utama yang mendasari tuntutan tersebut. Menurutnya, Tapera dinilai memberatkan buruh dan tidak memberikan jaminan kepemilikan rumah yang pasti.
"Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) akan mempersiapkan aksi besar yang akan diikuti ribuan buruh pada Kamis, 6 Juni (2024) di Istana Negara, Jakarta," tegas Iqbal dalam keterangan tertulisnya, Minggu (2/6).
Alasan pertama, Iqbal menyoroti ketidakpastian jaminan kepemilikan rumah. Ia menyebut potongan 2,5 persen dari gaji peserta tidak menjamin buruh akan memiliki rumah. Meskipun diwajibkan mengikuti kepesertaan Tapera selama 10 hingga 20 tahun, simpanan tersebut belum tentu cukup untuk uang muka pembelian rumah.
Kedua, pemerintah dinilai lepas tanggung jawab dalam memastikan setiap warga negara Indonesia (WNI) memiliki rumah. Iqbal mempertanyakan peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang tidak dikucurkan untuk perumahan rakyat.
"Dengan demikian, pemerintah lepas dari tanggung jawabnya untuk memastikan setiap warga negara memiliki rumah yang menjadi salah satu kebutuhan pokok rakyat, di samping sandang dan pangan," kritik Iqbal.
Ketiga, iuran Tapera yang harus dibayar setiap tanggal 10 dinilai membebani biaya hidup buruh. Iqbal menyoroti penurunan daya beli pekerja yang semakin tertekan dengan adanya potongan gaji tambahan.
"Pajak penghasilan (PPh) 5 persen, iuran jaminan kesehatan 1 persen, iuran jaminan pensiun 1 persen, iuran jaminan hari tua 2 persen, dan rencana iuran Tapera 2,5 persen. Belum lagi jika buruh memiliki utang koperasi atau di perusahaan, akan semakin membebani biaya hidup buruh," jelasnya.
Keempat, Iqbal menyoroti kerancuan skema pengelolaan Tapera yang berpotensi menjadi ladang korupsi baru. Ia menjelaskan bahwa skema untuk buruh seharusnya berupa jaminan sosial atau bantuan sosial. Jaminan sosial dananya bersumber dari iuran peserta, pajak, atau gabungan keduanya, dengan penyelenggara yang independen. Sementara bantuan sosial berasal dari APBN dan APBD, diselenggarakan oleh pemerintah.
"Model Tapera bukanlah keduanya. Karena dananya dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak ikut iuran, tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah," ujarnya.
Kelima, Partai Buruh menganggap Tapera sebagai bentuk pemaksaan dari negara. Iqbal berpendapat bahwa jika Tapera adalah tabungan, seharusnya bersifat sukarela, bukan memaksa. Ia juga menyoroti bahwa sebagai tabungan sosial, tidak boleh ada subsidi penggunaan dana antar-peserta, seperti program Jaminan Hari Tua (JHT) dan BPJS Ketenagakerjaan.
Keenam, Tapera dipandang sebagai program yang tidak jelas. Buruh khawatir akan kesulitan mencairkan manfaat tabungan ini di kemudian hari, terutama bagi buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau buruh informal.
"Oleh karena itu, dana Tapera bagi buruh yang ter-PHK atau buruh informal akan mengakibatkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam pencairan serta keberlanjutan dana Tapera," tegasnya.
Partai Buruh berjanji akan mengajukan judicial review UU Tapera ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan PP Tapera ke Mahkamah Agung (MA) dalam waktu dekat. Aksi unjuk rasa besar-besaran pada 6 Juni mendatang diharapkan dapat menjadi tekanan bagi pemerintah untuk segera membatalkan aturan tersebut.
Sumber: cnnindonesia.com