Hari Kebudayaan Nasional dan Tonggak Persatuan Nusantara
Ketentuan & Kebijakan Privasi Cara Menulis di kumparan 2025 © PT Dynamo Media Network Hari Kebudayaan Nasional dan Tonggak Persatuan Nusantara Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatu...
Ketentuan & Kebijakan Privasi
Cara Menulis di kumparan
2025 © PT Dynamo Media Network
Hari Kebudayaan Nasional dan Tonggak Persatuan Nusantara
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
16 Juli 2025 7:55 WIB
Hari Kebudayaan Nasional dan Tonggak Persatuan Nusantara
Hari Kebudayaan Nasional dan Tonggak Persatuan Nusantara. Pada tanggal 7 Juli 2025, Menteri Kebudayaan menandatangani SK Nomor 162/M/2025 yang menetapkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional.
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Strategi pengenalan budaya melalui event festival kebudayaan (Sumber: Kumparan)
Pada tanggal 7 Juli 2025, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menandatangani Surat Keputusan Nomor 162/M/2025 yang menetapkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional. Penetapan ini menjadi tonggak sejarah baru dalam perjalanan kebudayaan Indonesia. Tak sekadar seremoni, Hari Kebudayaan Nasional dihadirkan untuk menggugah kembali kesadaran kolektif tentang pentingnya budaya sebagai fondasi persatuan bangsa.
Pemilihan tanggal 17 Oktober bukan tanpa alasan yang dalam. Tanggal tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara, yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo. Di situlah secara resmi lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila, ditetapkan lengkap dengan semboyan agung Bhinneka Tunggal Ika.
Semboyan itu bukan sekadar untaian kata kuno dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Ia adalah filosofi hidup bangsa Indonesia: persatuan dalam keberagaman. Dalam sidang-sidang BPUPKI, para tokoh bangsa seperti Muhammad Yamin, Sukarno, dan I Bagus Sugriwa menjadikan semboyan ini sebagai roh dari identitas nasional. Maka, memperingati 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional adalah bentuk penghormatan terhadap akar historis dan filosofis bangsa.
Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan membuktikan bahwa kebudayaan kini tidak lagi diletakkan sebagai pelengkap pembangunan. Penetapan ini adalah pernyataan politik kebangsaan yang kuat, bahwa Indonesia tidak bisa besar hanya dengan infrastruktur fisik, tetapi juga harus membangun infrastruktur nilai dan jati diri.
Salah satu pengusul Hari Kebudayaan Nasional, Nano Asmorodono, dari Tim Garuda Sembilan Yogyakarta, menegaskan bahwa pemilihan 17 Oktober tidak dimaksudkan untuk bertepatan dengan hari kelahiran Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, pertimbangan tim sepenuhnya berdasar pada nilai-nilai historis dan simbolik dari tanggal tersebut yang merepresentasikan penyatuan identitas kebangsaan melalui simbol negara.
Tim Garuda Sembilan terdiri dari para budayawan lintas disiplin di Yogyakarta. Mereka adalah tokoh-tokoh yang selama ini konsisten menjaga dan mengembangkan ekosistem kebudayaan di daerah. Termasuk di antaranya Achmad Charis Zubair dari Dewan Kebudayaan, pemerhati keris Rahadi Saptata Abra, maestro keris Bimo Wiwohatmo, hingga koreografer Isti Sri Rahayu dan seniman tradisi Yati Pesek.
Selama ini, kebudayaan cenderung diposisikan sebagai pelengkap dunia pariwisata. Ia dijadikan etalase semata untuk mendukung sektor ekonomi kreatif. Pemahaman yang sempit ini menyebabkan budaya kehilangan makna utamanya sebagai penyatu identitas, penyemai nilai, dan penjaga keutuhan bangsa. Hari Kebudayaan Nasional hadir sebagai koreksi terhadap narasi lama itu.
Penetapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan menjadi titik awal perubahan cara pandang terhadap budaya. Melalui UU tersebut, pemerintah daerah mulai didorong untuk melindungi, mengembangkan, memanfaatkan, dan membina kebudayaan. Kesadaran ini kini makin berkembang, seiring dengan munculnya SK Menteri Kebudayaan yang memberi ruang afirmatif terhadap pengarusutamaan budaya.
Dalam praktiknya, masih banyak pekerjaan rumah. Tak sedikit pemerintah daerah yang belum menjadikan kebudayaan sebagai prioritas dalam perencanaan pembangunan. Namun, dengan adanya Hari Kebudayaan Nasional, diharapkan ada loncatan kesadaran bahwa budaya adalah investasi jangka panjang bangsa ini.
Stimulus konkret dapat diwujudkan dengan meningkatnya anggaran kebudayaan di tingkat daerah. Bukan sekadar festival seremonial, tetapi lebih pada penguatan lembaga budaya, dokumentasi warisan budaya tak benda, hingga pemberdayaan komunitas adat dan pelaku budaya lokal. Di titik ini, kebudayaan akan kembali menjadi denyut nadi kehidupan bangsa.
Indonesia memiliki potensi besar sebagai negeri seribu museum. Warisan budaya dari Sabang sampai Merauke adalah kekayaan tak ternilai. Namun, selama ini kita masih abai dalam melakukan inventarisasi yang sistematis. Museum-museum lokal tak jarang kekurangan perhatian dan pengunjung, padahal mereka menyimpan warisan intelektual bangsa yang dapat menjadi sumber pembelajaran lintas generasi.
Momentum Hari Kebudayaan Nasional seharusnya dijadikan ajang diplomasi budaya global. Budaya Indonesia bukan hanya untuk dinik... [Content truncated due to length]
Sumber: kumparan.com