Lifestyle 11 Jul 2025, 23:01

Fenomena Gaya Hidup YONO, Apa Dampaknya jika Banyak Orang Ikut Tren Ini?

Fenomena Gaya Hidup YONO, Apa Dampaknya jika Banyak Orang Ikut Tren Ini? JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah sempat diwarnai tren You Only Live Once (YOLO) yang mendorong konsumsi berlebihan, kini muncul ga...

Fenomena Gaya Hidup YONO, Apa Dampaknya jika Banyak Orang Ikut Tren Ini?

JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah sempat diwarnai tren You Only Live Once (YOLO) yang mendorong konsumsi berlebihan, kini muncul gaya hidup baru bernama You Only Need One (YONO). Tren ini mengajak masyarakat untuk lebih bijak dalam berbelanja dan fokus pada kebutuhan esensial. Namun, apa dampaknya jika gaya hidup ini diadopsi secara luas?

Beberapa tahun belakangan, semangat YOLO mendorong orang untuk menikmati hidup sepenuhnya, termasuk membeli barang mewah dan bepergian tanpa pikir panjang. Akan tetapi, berbagai perubahan pasca pandemi, seperti inflasi dan ketidakstabilan ekonomi, memicu pergeseran tren ke arah YONO. Gaya hidup ini menekankan pemilihan barang atau pengalaman yang benar-benar dibutuhkan dan bernilai jangka panjang.

Menurut Sameer Samana, ahli strategi pasar dari Wells Fargo Investment Institute, pergeseran ini tak terhindarkan. "Saat orang kembali bekerja dari kantor dan kehilangan fleksibilitas kerja jarak jauh, mereka mulai menyesuaikan hidup pada pola yang lebih terstruktur dan realistis," ujarnya seperti dikutip dari CNN Business.

Gaya hidup YONO bukan sekadar tren penghematan, tetapi juga bentuk refleksi diri. Ini sejalan dengan gerakan No Buy Challenge 2025 yang mengajak masyarakat mengurangi konsumsi barang non-esensial. Cynthia Suci Lestari, pendiri komunitas minimalis Lyfe with Less, menyarankan untuk memilih barang yang timeless dan fungsional agar terhindar dari belanja impulsif.

Pengamat Psikososial dan Budaya, Endang Mariani, menjelaskan bahwa YONO dapat membawa dampak positif dan negatif. Dari sisi positif, budaya konsumtif cenderung menurun. Masyarakat menjadi lebih hemat, tidak mudah tergoda belanja impulsif, sehingga mengurangi stres keuangan dan meningkatkan kesejahteraan mental.

"Alih-alih mengejar gengsi dan pamer harta, orang jadi lebih menghargai solidaritas sosial dan hubungan antarmanusia," kata Endang. Dampak sosial seperti kecemburuan akibat kesenjangan gaya hidup juga bisa berkurang karena masyarakat lebih fokus pada kebersamaan daripada kepemilikan barang.

Namun, adopsi luas gaya hidup YONO juga berpotensi menimbulkan efek domino pada perekonomian. Produsen mungkin menurunkan produksi, perputaran uang melambat, dan pertumbuhan ekonomi bisa terhambat.

Di sisi lain, produksi dan konsumsi yang lebih rendah berarti kerusakan lingkungan juga berkurang. Polusi dan limbah akan berkurang, memberikan dampak positif bagi keberlangsungan hidup.

"Dampak positif dan negatif pasti ada, tergantung bagaimana kita memanajemennya. Bagaimana kita bisa mengubah dampak negatif menjadi positif," tutup Endang.

Meskipun tantangan dalam menerapkan gaya hidup YONO ada, kesadaran akan pentingnya hidup hemat dan bijak dalam konsumsi semakin meningkat. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran nilai di masyarakat, dari konsumtif menjadi lebih mindful dan berkelanjutan.

Sumber: lifestyle.kompas.com