Opini & Editorial 21 Jun 2025, 05:02

Editorial Tempo: RUU Ormas, Jangan Sampai Mengulang Sejarah Kelam

Editorial Tempo: RUU Ormas, Jangan Sampai Mengulang Sejarah Kelam Jakarta - Rancangan Undang-Undang (RUU) Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) kembali menjadi sorotan tajam. Editorial Tempo baru-baru ini...

Editorial Tempo: RUU Ormas, Jangan Sampai Mengulang Sejarah Kelam

Jakarta - Rancangan Undang-Undang (RUU) Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) kembali menjadi sorotan tajam. Editorial Tempo baru-baru ini mengkritisi RUU yang sedang digodok ini, mengingatkan akan bahaya penyalahgunaan kekuasaan dan pembatasan kebebasan berserikat yang pernah terjadi di masa lalu. Mengapa RUU Ormas ini menuai kritik? Bagaimana potensi dampaknya terhadap masyarakat sipil?

RUU Ormas ini dinilai berpotensi mengulang sejarah kelam pembungkaman organisasi-organisasi yang kritis terhadap pemerintah. Pada masa lalu, pemerintah kerap menggunakan alasan stabilitas nasional untuk membubarkan atau membungkam ormas yang dianggap mengganggu. Editorial Tempo mengingatkan bahwa kebebasan berserikat dan berkumpul adalah hak konstitusional yang harus dilindungi.

"Kebebasan berserikat adalah pilar penting dalam negara demokrasi. RUU Ormas seharusnya menjamin kebebasan ini, bukan malah membatasinya," tulis Editorial Tempo.

Kekhawatiran utama dari RUU Ormas ini adalah potensi penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah. Pasal-pasal yang dianggap karet dalam RUU ini dapat digunakan untuk membubarkan ormas yang tidak disukai oleh penguasa. Hal ini tentu akan mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia.

Masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan menyuarakan aspirasi rakyat. Pembatasan terhadap ormas akan melemahkan kontrol sosial dan mengurangi partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Editorial Tempo menekankan bahwa pemerintah seharusnya merangkul ormas sebagai mitra dalam membangun bangsa, bukan malah menganggapnya sebagai ancaman.

Selain itu, RUU Ormas juga dikhawatirkan akan menyasar ormas-ormas yang bergerak di bidang lingkungan dan hak asasi manusia. Ormas-ormas ini seringkali menjadi garda terdepan dalam membela kepentingan masyarakat yang terpinggirkan dan mengkritik kebijakan pemerintah yang merusak lingkungan. Jika RUU Ormas disahkan dengan pasal-pasal yang represif, maka ormas-ormas ini akan semakin sulit menjalankan tugasnya.

Pemerintah perlu mendengarkan masukan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil dan ahli hukum, dalam merumuskan RUU Ormas. RUU ini seharusnya menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul, serta memberikan ruang yang luas bagi ormas untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Jangan sampai RUU Ormas menjadi alat untuk membungkam suara-suara kritis dan membatasi kebebasan masyarakat sipil.

Sejumlah elemen masyarakat sipil juga telah menyuarakan kekhawatiran serupa. Mereka menilai RUU Ormas ini berpotensi mengancam demokrasi dan kebebasan sipil. "Kami meminta pemerintah untuk membuka ruang dialog yang seluas-luasnya dengan masyarakat sipil terkait RUU Ormas ini," ujar seorang perwakilan dari sebuah organisasi masyarakat sipil.

Pemerintah perlu menunjukkan komitmennya terhadap demokrasi dan kebebasan sipil dengan merevisi RUU Ormas ini. Pasal-pasal yang dianggap karet dan berpotensi disalahgunakan harus dihapus. RUU Ormas seharusnya menjadi instrumen untuk memperkuat masyarakat sipil, bukan malah melemahkannya.

Sebagai penutup, Editorial Tempo mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mengawal proses pembahasan RUU Ormas ini. Jangan sampai sejarah kelam pembungkaman ormas terulang kembali. Kebebasan berserikat adalah hak konstitusional yang harus dilindungi dan diperjuangkan.

Sumber: majalah.tempo.co