Opini & Editorial 17 Jun 2025, 17:57

Editorial: Revisi UU ITE - Antara Kebebasan Berekspresi dan Tanggung Jawab Digital

Revisi UU ITE: Antara Kebebasan Berekspresi dan Tanggung Jawab Digital Jakarta, Indonesia - Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kembali menjadi sorotan, memicu perdebatan mengena...

Revisi UU ITE: Antara Kebebasan Berekspresi dan Tanggung Jawab Digital

Jakarta, Indonesia - Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kembali menjadi sorotan, memicu perdebatan mengenai perlunya revisi untuk menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi di dunia maya dan tanggung jawab atas konten yang dibagikan. Kritik terhadap UU ITE seringkali menyoroti pasal-pasal yang dianggap karet dan berpotensi membungkam kritik, sementara di sisi lain, terdapat kebutuhan untuk melindungi masyarakat dari disinformasi dan ujaran kebencian.

UU ITE, sejak awal kemunculannya, bertujuan untuk mengatur aktivitas di dunia maya, termasuk transaksi elektronik, penyebaran informasi, dan perlindungan data pribadi. Namun, implementasinya seringkali menuai kontroversi. Pasal-pasal seperti pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong (hoaks) menjadi alat yang rentan disalahgunakan untuk mengkriminalisasi perbedaan pendapat.

Salah satu argumen utama yang mendukung revisi UU ITE adalah perlindungan terhadap kebebasan berekspresi. Di era digital ini, internet menjadi ruang publik baru di mana setiap orang memiliki hak untuk menyampaikan pendapat dan berpartisipasi dalam diskusi publik. Namun, dengan adanya UU ITE yang dianggap mengekang, ruang gerak masyarakat sipil dan media menjadi terbatas.

"Kebebasan berekspresi adalah pilar penting dalam demokrasi. UU ITE seharusnya tidak menjadi alat untuk membungkam kritik atau menghambat partisipasi publik," ujar pengamat hukum tata negara, Bivitri Susanti, dalam sebuah diskusi daring.

Di sisi lain, perlunya revisi UU ITE juga didasarkan pada maraknya disinformasi dan ujaran kebencian di media sosial. Penyebaran berita bohong dapat merusak tatanan sosial, memicu konflik, dan bahkan mengancam keamanan nasional. Oleh karena itu, UU ITE diharapkan mampu memberikan efek jera bagi pelaku penyebaran disinformasi dan ujaran kebencian.

Namun, para kritikus berpendapat bahwa penegakan hukum terhadap disinformasi dan ujaran kebencian harus dilakukan dengan hati-hati dan proporsional. UU ITE tidak boleh digunakan untuk mengkriminalisasi ekspresi yang sah atau menghambat kebebasan pers.

"Penting untuk membedakan antara kritik yang konstruktif dan ujaran kebencian yang merusak. UU ITE harus dirumuskan secara jelas dan spesifik agar tidak disalahgunakan," kata Damar Juniarto, Direktur Eksekutif SAFEnet, sebuah organisasi yang fokus pada hak-hak digital.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah telah melakukan beberapa kali revisi terhadap UU ITE. Namun, revisi tersebut belum sepenuhnya menjawab kekhawatiran masyarakat sipil dan media. Masih terdapat pasal-pasal yang dianggap karet dan berpotensi disalahgunakan.

Oleh karena itu, revisi UU ITE ke depan harus dilakukan secara komprehensif dan partisipatif, melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, parlemen, masyarakat sipil, media, dan akademisi. Tujuannya adalah untuk menciptakan UU ITE yang lebih adil, proporsional, dan melindungi kebebasan berekspresi sekaligus menuntut tanggung jawab digital.

Revisi UU ITE bukan hanya sekadar perubahan pasal-pasal, tetapi juga perubahan paradigma dalam penegakan hukum. Penegakan hukum harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Sebagai penutup, revisi UU ITE merupakan sebuah keniscayaan di era digital ini. UU ITE harus mampu menjadi instrumen untuk menjaga ruang digital yang sehat, aman, dan inklusif, di mana kebebasan berekspresi dijamin dan tanggung jawab digital ditegakkan. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat memanfaatkan potensi internet untuk kemajuan bangsa dan negara tanpa mengorbankan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.

Sumber: news.detik.com